Jumat, 30 Desember 2011

Sisi Gelap Psikologi Dunia Maya

Sisi Gelap Psikologi Dunia Maya
Posted on Juli 6, 2009 by vandalismeintelektual
Prolog
Melanjutkan tulisan saya di postingan sebelumnya (Blunder in The Use of New Technology), saya kembali tertarik untuk membedah lebih jauh dampak buruk perkembangan teknologi informasi. Entah kenapa, mungkin karena pengalaman pribadi saya sendiri, saya sangat merasa bahwa setiap orang perlu dibekali dengan pemahaman mengenai dampak penyalahgunaan teknologi informasi. Pelajaran seperti ini seharusnya diberikan seperti halnya pelajaran mengenai dampak penyalahgunaan obat-obatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dalam satu dekade terakhir banyak diajarkan di negeri ini. Mengapa pelajaran seperti itu sangat penting? Saya tidak akan menjelaskan alasan pribadi saya mengenai itu kepada Anda, karena ini dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi penulis, tapi cukuplah maraknya isu tentang dampak buruk facebook (baca: pengharaman facebook) menjadi salah satu alasan kita untuk cukup concern dengan tema semacam ini.
Beberapa waktu yang lalu saya berada dalam sebuah forum diskusi kecil lintas bangsa (karena hanya ada sekitar 10 orang dan ada beberapa orang luar negerinya juga) yang membahas mengenai dampak negatif facebook. Seperti biasa, dalam diskusi ini ada golongan afirmatif dan ada golongan negatifnya. Sang pengusung ide afirmatif, yang juga seorang mahasiswi, berusaha meyakinkan audience dengan fakta-fakta. Dan dengan teknik retorika yes-no question, Ia tampak berusaha menggiring peserta diskusi lainnya bahwa penggunaan facebook memang buruk. Namun, ide-idenya dengan serta merta dibantah oleh golongan negatif. Mereka yang jumlahnya lebih banyak ini mempertanyakan argumen sang mahasiswi dengan sebuah alasan sederhana: facebook (seperti halnya bentuk teknologi lainnya) adalah suatu objek netral dan pengaruh negatifnya sangat ditentukan oleh penggunanya.
Diskusi pun selesai. Tak ada kesimpulan apapun, semua kembali pada diri masing-masing peserta. Saya yang sedari tadi tidak ikut-ikutan bicara, menangkap satu poin penting dari diskusi tanpa kesimpulan itu. Ini memang bukan masalah facebook atau situs jejaring social apapun, bukan pula masalah fasilitas chatting, sms, telepon genggam, telepon rumah atau apapun, tapi ini menyangkut bagaimana kesadaran kita –sebagai pengguna teknologi- dalam menentukan batas-batas penggunaan sebuah teknologi. Dalam pandangan saya sebagai seorang Muslim, maka penggunaan teknologi apapun itu adalah sesuatu yang boleh-boleh saja “mubah”karena itu terkait persoalan keseharian “muamalat”. Ada kaidah dalam agama saya yang menyatakan bahwa “segala sesuatu yang menyangkut urusan muamalah itu mubah sifatnya, kecuali yang diharamkan”. Kaidah itu secara tidak langsung menyatakan bahwa segala jenis teknologi informasi itu mubah kecuali jika digunakan untuk tujuan yang diharamkan. Lalu seperti apakah tujuan yang diharamkan itu?
Tentu saya tidak akan menjelaskan rincian apa saja yang diharamkan dalam Islam, tetapi saya yang menjadi salah satu pembaca tetap rublik psikologi di harian KOMPAS merasa tulisan sang pengasuh, Ibu Sawitri Supardi Sadarjoen, berikut ini sudah cukup memberi gambaran salah satu dampak buruk yang dapat muncul dari teknologi informasi (berikut tulisan Ibu Sawitri di Kompas yang saya kutip menggunakan cetak miring (font italic):
FB dan SMS, Bibit Selingkuh?
Facebook (FB) dan SMS sudah bukan barang asing di negeri tercinta ini. Teman, sahabat, mantan kekasih, ”kecengan” masa remaja yang sudah puluhan tahun berlalu tidak bertemu dan tidak bersapa tiba-tiba datang di depan mata tanpa jarak. Kita bisa bercengkerama, berhalo-halo, bernostalgia, berbagi pengalaman, curhat, tanpa dibatasi ruang dan waktu lagi. Banyak sisi positif yang bisa kita raih, banyak pula sisi negatif yang bisa berpengaruh, bahkan banyak pula kejadian fatal yang bisa diakibatkannya.
Sisi positif antara lain:
- Tali silaturahim yang pernah terbina pada masa lalu nyambung kembali. Banyak hal yang akan diceritakan dan didiskusikan, bahkan ditertawakan dengan ceria. Cerita-cerita lama yang lucu akan muncul kembali, menambah keceriaan pertemuan di alam maya.
- Hambatan dalam berkomunikasi dengan cara berhadapan dengan sendirinya bisa diciptakan tanpa kesulitan. Komunikasi tertulis tanpa memandang orang yang diajak berkomunikasi memang membuka peluang bagi seseorang untuk lebih lancar dan mengalir.
Hal positif lain sebagai akibatnya adalah bahwa komunikasi alam maya menjadi tempat berlatih menyusun kalimat dengan baik dan bahkan tempat berlatih merayu tanpa harus menanggung rasa malu.
- Ungkapan-ungkapan bebas mengalir tanpa hambatan dan diwarnai oleh rayuan-rayuan kecil, terutama bila pada masa lalu pernah terjadi hubungan yang agak istimewa atau salah satu dari yang berkomunikasi pada dasarnya tertarik dengan lawan berkomunikasinya. Bahkan, pada pasangan alam maya yang baru dikenal pun mungkin saja berkembang ke arah komunikasi tertulis yang diselingi rayuan-rayuan pula. Bagi orang yang pada dasarnya kurang mampu bergaul, melalui FB bisa mendapat kesempatan mendapatkan kenalan baru.
Kasus 1:
”Ibu, sudah dua tahun ini saya merasa tidak berdaya, merasa hampa, enggan melakukan apa pun, malas, tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan dari hidup ini. Kadang tersirat keinginan untuk mati saja, rasanya hidup saya tidak berharga lagi. Saya merasa teman-teman hanya mengambil manfaat atas hidup saya, dan tidak satu teman pun yang betul-betul mengerti saya.
Walaupun umur saya sudah 30 tahun, saya tidak pernah berniat untuk mencari pacar dari dunia maya, tetapi orang ini terus-menerus menghubungi saya sehingga lama-lama saya jadi terbiasa setiap hari sekitar satu-dua jam berkomunikasi melalui FB dan akhirnya juga menggunakan SMS. Lama-kelamaan saya merasa nyaman punya teman yang setiap pulang kantor dapat dihubungi. Segala hal yang saya alami dalam satu hari saya ceritakan, begitu pula halnya dengan X.
Saya merasa cocok, dan rupanya dia juga merasa cocok, lama-lama komunikasi berkembang dan diisi dengan saling merayu dan memuji cara saya berkomunikasi dan sesekali mengatakan bahwa saya tampak cantik di foto yang ada di FB. Saya memberi tahu X mengenai ciri fisik saya, dan katanya tinggi badan dia hanya berbeda 2 cm dari diri saya. Perasaan saya waktu itu benar-benar penuh dan saya merasa hidup terasa berarti dan penuh.
Pada suatu hari Minggu kita sepakat bertemu di sebuah restoran. Pada awal pertemuan, dia mengamati saya dari ujung kaki sampai ujung rambut dan berkomentar, ’Saya kira kamu tidak setinggi ini….’ Memang kecuali tinggi badan saya lebih dari kebanyakan tinggi badan perempuan lain, badan saya pun tampak besar, sementara walaupun hanya beda 2 cm, karena badan X agak ramping, jadi saya terlihat jauh lebih tinggi. Kami memesan makanan, tapi terus terang saya agak kecewa karena ternyata X agak pendiam sehingga relasi kami terasa kaku.
Setelah pesanan makanan kami habiskan, X langsung pamitan, dengan alasan ada janji di kotanya dengan seorang teman. Ibu, saya sangat terkejut ketika seminggu kemudian X mengubah statusnya yang tadinya single menjadi in-relationship. Satu bulan kemudian X menikah dan mengakhiri hubungan dengan saya.
Saya benar-benar sedih, merasa kehilangan teman bicara dan kehilangan seseorang yang selama enam bulan terakhir mengisi hati saya. Sejak itu sering saya menangis sendiri, bahkan tanpa terasa air mata sering berlinang. Ibu, saya patah hati, saya sedih dan saya merasa kehidupan ini tidak berarti lagi…,” demikian K (30 tahun).
Kasus 2:
”Ibu, istri saya selingkuh, saya tidak mau memaafkannya, saya benar-benar mau cerai dengannya. Saya perhatikan beberapa bulan terakhir ini ia selalu sibuk dengan laptopnya, katanya dia berhubungan dengan bekas teman-teman sekelasnya saat di SMA.
Tadinya saya pikir biasa saja dan saya tidak curiga sama sekali, tetapi pagi tadi saya lihat dia men-charge ponselnya, ketika saya keluar dari kamar mandi, dia cepat-cepat mencabut charger-nya dan berusaha menyembunyikan ponselnya di kantong daster yang dia pakai. Melihat gelagatnya yang gugup, saya jadi curiga dan minta ponsel yang dia pegang, tapi dia tidak memberikan, bahkan membawanya keluar. Saya tambah curiga dan saya berusaha merebutnya. Tentu saja tenaga saya lebih kuat, serentak saya buka isi ponselnya mengerikan, I love u, I miss you, dsb.
Saya penasaran dan saya buka inbox-nya, ternyata ada perjanjian ketemu di satu mal. Setelah saya tanya beberapa kali, baru dia mengaku bahwa mereka sudah tiga kali bertemu. Rupanya lelaki yang sebenarnya sudah menikah itu naksir istri saya saat masih di SMA, tetapi tidak cukup percaya diri untuk melakukan pendekatan karena banyak lelaki lain yang berminat dengan istri saya.
Kami sebenarnya sudah 24 tahun menikah dan punya dua anak yang sudah cukup dewasa, tapi saya tidak mau melanjutkan perkawinan saya. Anak-anak sudah dewasa. Kalau saya ceritakan bahwa ibunya selingkuh, pasti mereka memahami kalau saya mau menceraikan ibunya…,” demikian L (53 tahun).
Analisis:
Dua kasus di atas adalah contoh konkret dari banyak kasus oleh ekses penggunaan FB dan SMS yang sangat tidak kita inginkan. K menderita depresi yang membutuhkan bantuan psikologik berlanjut dan keluarga L menjadi rentan terhadap perceraian akibat penyalahgunaan FB dan SMS, dengan dua anak kandung yang juga nyaris menjadi korban perceraian kedua orangtuanya. Jadi rupanya hal yang harus kita sadari adalah bahwa alat komunikasi canggih baru akan terasa kecanggihannya bila kita mampu memanfaatkannya dengan penuh rasa tanggung jawab dan terkendali.
Sawitri Supardi Sadarjoen Psikolog
Diambil dari http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/07/06/09541734/fb.dan.sms.bibit.selingkuh
Mungkin sebagian pembaca akan berkata, tentu saja penyalahgunaan facebook dan sms adalah tanggung jawab sang pengguna dan tidak semua orang begitu. Memang benar, tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah kesempatan yang diberikan kepada kita untuk melakukan kesalahan akan semakin terbuka dengan adanya facebook dan sms. Pembaca tentu ingat kata-kata mutiara dari Bang Napi “ingat! Kejahatan bisa timbul bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan”. Tulisan dari Ibu Sawitri tadi menyadarkan kita bahwa teknologi informasi saat ini telah membuka sebuah lipatan dari dunia ini yang sejak zaman dahulu kala terlipat. Lipatan itu adalah batasan ruang dan waktu (space and time barrier) yang sejak zaman dahulu mereduksi kesempatan orang untuk berkomunikasi.
Batasan itu kini telah hilang. Teknologi informasi mendobrak seluruh tatanan komunikasi verbal dan non-verbal karena jangkauan teknologi informasi ini yang begitu luasnya. Tak ada yang menghalangi saya untuk menghubungi teman saya di Afrika sana walaupun saat itu sedang tengah malam. Untuk melihat apa yang sedang dia lakukan saat berkomunikasi dengan saya pun bisa dilakukan jika kami sama-sama mau melakukannya. Tinggal mengaktifkan webcam dan jadilah komunikasi kami berlangsung. Hal seperti itu tidak pernah terjadi di zaman dahulu, dan kini terjadi. Kesempatan seperti itu tidak ada zaman dulu, dan sekarang kesempatan itu ada.
Mengapa perkembangan teknologi informasi begitu berpotensi melahirkan kekacauan dalam kehidupan manusia? Jawabannya karena penggunaan teknologi informasi – dalam hal yang lebih spesifik adalah internet- mempengaruhi psikologi dasar manusia. Perkembangan teknologi dan segala dinamika pengaruhnya terhadap psikologi manusia bahkan kini menghasilkan cabang ilmu psikologi sendiri yang disebut sebagai cyberpsychology atau psikologi dunia maya. Psikologi dunia maya berbicara banyak tentang perilaku, cara berpikir, dan perasaan manusia yang berkaitan dengan kompleksitas dunia maya. Beberapa pembahasan psikologi dunia maya diantaranya adalah mengenai dampak interaksi dengan media internet dalam munculnya kekerasan remaja, pembelajaran multi-tugas, kecanduan online, dan pengaruh-pengaruh lainnya pada hubungan virtual (virtual relationship), pembentukan kelompok, depresi, dan kognisi manusia (definisi disarikan dari penjelasan Dr. Michael Fenichel di cyberpsychology.com).
Epilog
Tulisan dari Ibu Sawitri merupakan contoh kasus bagaimana teknologi informasi dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan manusia jika tidak digunakan secara bertanggung jawab. Meskipun tidak secara langsung menjelaskan atau membicarakan cyberpsychology, tulisan tersebut dapat diturunkan menjadi kasus pengaruh psikologis penggunaan teknologi informasi. Pengaruh psikologis tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
NB: Terus terang, saya menulis artikel ini sebagai salah satu bentuk diseminasi atau edukasi mengenai penyalahgunaan teknologi informasi bagi diri saya sendiri khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Mungkin para pembaca dapat merasakan kalau tulisan ini cenderung mengarahkan para pembaca agar berhati-hati dengan teknologi informasi, dan itu benar karena memang tulisan ini bersifat persuasive. Judul yang saya gunakan juga terkesan provokatif dan kurang tepat, itu semua sengaja dilakukan dan hanya demi tujuan publisitas semata. Tulisan saya ini dan kasus yang diangkat dari rubrik Ibu Sawitri di KOMPAS tidak secara utuh merepresentasikan dampak buruk teknologi informasi, apalagi dampak teknologi informasi secara keseluruhan. Tulisan ini hanya sedikit membahas masalah ini dan kasus yang diangkatpun hanyalah kasus-kasus ekstrem. Untuk sisi positif teknologi informasi tentu sangat banyak dan tidak dapat disangkal lagi telah bermanfaat banyak bagi kehidupan manusia. Untuk mencari dampak positif dari teknologi informasi dapat dirujuk pada tulisan-tulisan lainnya yang dapat dicari di mesin pencari seperti google dan lain-lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Archive

Postingan Populer