Jumat, 30 Desember 2011

sisi gelap dalam dunia maya


Sisi Gelap Dunia Maya
24 May 2010
Oleh ADI SURYA
INTERNET tak lagi dipandang sebagai tools semata, tetapi sudah menjelma menjadi medium yang melibatkan partisipasi aktif penggunanya. Perspektif ini mengamini teori uses and gratifications yang menitikberatkan pada media pasif dan ko-munikan aktif. Lantas menjadi ironi ketika Iata menyalahkan internet (media) jika terdapat masalah yang diakibatkan dari relasi komunikasi yang terjadi di dalamnya. Apa yang terjadi pada Nova Triani, seorang remaja SMP yang lari bersama remaja pria kenalannya di situs jejaring sosial, patutnya dijadikan refleksi. Apakah remaja yang belum matang secara emosional itu tepat dijadikan kambing hitam persoalan yang terjadi? Ataukah perlu ada kontrol yang ditempatkan dalam variabel teknologi untuk mengantisipasi terulangnya kasus seperti ini.
Isu ini memang dapat berkembang menjadi pro dan kontra yang sulit diurai solusinya. Di satu sisi, kasus Nova yang menjadi momok menakutkan bagi banyak orang tua yang menghendaki adanya kebijakan-kebijakan yang mampu mengontrol penyalahgunaan media baru. Sementara yang lain lebih menilai kasus ini sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi yang tak dibarengi dengan perkembangan mental manusianya. Semuanya itu tergantung dari perspektif melihat persoalan mengenai isu sosial ini.
Namun yang perlu juga diingat, internet bukan sekadar altematif media komunikasi baru, tetapi ia juga membentuk pola-pola komunikasi baru yang memiliki karakteristik berbeda dengan media lain. Pola-pola itu di antaranya sifat komunikasi bermedia berubah menjadi komunikasi yang interaktif. Sifat komunikasi tidak lagi selalu syn-chronorous, tetapi dapat pula bersifat asynchronorous. yaitu komunikasi melalui media internet dengan pengirim dan penyampai pesan dalam berinteraksi tidak berada pada kedudukan tempat dan waktu yang sama, tetapi pesan tetap sampai pada tujuan atau sasaran (penerima). Selain itu, jarak ruang dan waktu antara pengirim dan penerima pesan menjadi semakin tipis, serta konteks komunikasi berlangsung dalam dunia maya (virtual).
Interaksi virtual
Menurut Parwitaningsih, terjadinya interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa aturan, di antaranya aturan yang berkaitan dengan dimensi ruang dan dimensi waktu. Aturan merujuk kepada hubungan kita dengan pihak lain yang memengaruhi posisi kita dalam melakukan interaksi. Artinya, kedekatan kita kepada seseorang akan memengaruhi sikap kita dalam berinteraksi dengan orang yang bersangkutan. Teori fiducary mink Taflotrt Parsons (1978) juga mengemukakan hal serupa. Interaksi sosial dapat membangun kedekatan jarak yang akan membuahkan tingkat keintiman di antara pelaku sosial. Keadaan ini berakibat pada sikap saling terbuka untuk saling memahami dan saling menghayati antara satu dengan yang lain. Di dunia virtual pun interaksi sosial dapat berjalan hampir seefektif interaksi sosial di dunia nyata.
Internet memadukan interaktivitas dalam komunikasi dengan konsep jarak dan ruang. Pola-pola komunikasi yang hanya terdiri atas salah satu di antaranya dianggap konvensional dan membatasi komunikasi yang mungkin terjadi di antara personal Dengan dihilangkannya hambatan itu, maka intensitas dan kontinuitas proses komunikasi dapat meningkat Hal ini bisa menjadi anugerah atau musibah, tergantung pada tujuan proses komunikasi yang dilakukan. Dalam hal ini, unsur manusia memang menjadi penentu terhadap hasil dari penggunaan media virtual yang terjadi Seperti yang termaktub dalam teori uses and gratifications yang menyebutkan bahwa komunikan bersifat aktif dan secara sadar memilih koneksi yang dikehendakinya dalam berinteraksi di dunia maya. Meski begitu, sering kali manusia tetap tak bisa otonom mengendalikan pikiran dan keputusan yang dibuatnya dalam menjalin jejaring di dunia virtual. Adanya unsur-unsur di luar diri manusia yang memengaruhi tindakannya, termasuk akses terhadap teknologi serta informasi yang bebas, bertebaran di dalamnya.
Tak tepat memang ketika dalam kasus Nova kita menyalahkan Facebook (teknologi), karena teknologi tak memiliki kuasa absolut untuk mendiktekan apa yang harusnya diperbuat penggunanya. Namun, patut diperhatikan bahwa penggunaan teknologi juga membutuhkan kearifan dan kematangan secara emosional. Apa ang terjadi pada Nova dan pasangan chatting-nya itu mungkin satu dari banyak dampak buruk penggunaan teknologi yang salah. Kecermatan dari pihak-pihak yang lebih mature sangat dibutuhkan untuk menghindarkan kasus-kasus Nova lainnya terulang lagi.
Kearifan dan kematangan dalam penggunaan teknologi bisa melibatkan beberapa model sistem sumber dalam mengatasi masalah-masalah sosial (Pincus dan Minahan 1973). Pertama, sistem sum- ber informal adalah sumber yang dapat memberi bantuan berupa dukungan emosional dan afeksi, nasihat, dan informasi tentang penggunaan internet secara arif. Sumber ini berbentuk keluarga, teman, dan tetangga.
Kedua, sistem sumber formal di mana sumber ini memberi bantuan kepada para anggotanya. Dalam kasus remaja yang masih bersekolah, sumber informal bisa berasal dari sekolah tempat dia menjalani proses didik. Adanya kebijakan mendaftarkan akun jejaring sosial pada pengajar sekolah, memungkinkan guru bisa memantau aktivitas anak-anak didiknya. Sekolah juga bisa mengajarkan penggunaan teknologi yang baik dengan mata pelajaran khusus atau diselingi di setiap mata pelajaran.
Ketiga, sistem sumber kemasyarakatan, yaitu sumber memberikan bantuan kepada masyarakat umum. Sumber yang bisa kita jadikan sarana perubahan adalah polisi dan kementerian terkait. Polisi dan kementerian terkait bisa mengawasi modus-modus yang dicurigai berlangsung di dunia maya dan kemudian melakukan penindakan yang tegas.
Namun, dibalik itu semua, perlu kita pahami bahwasanya kejahatan selalu mendahului penegakan hukum. Oleh karena itu, tindakan pencegahan selalu lebih penting dibandingkan dengan tindakan reaksioner setelah kejahatan terjadi. Peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada anggota keluarga dipandang memegang peranan penting melalui fungsi sosialisasi. Menurut Thomas Iichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter pertu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson - yang terkenal dengan teori Psychososial Development - juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan, anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tetapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981) menyatakan, usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah "sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan menyosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera". Artinya, dukungan keluarga dalam mengurangi angka-angka penyalahgunaan teknologi sangat berperan besar. Bangsa vang kuat tercermin dari peran keluarga yang berfungsi. Diharapkan generasi muda kita bisa melek teknologi tanpa terjerumus dalam lubang hitam kejahatan virtual. Teknologi bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Jika pelaku mempergunakan secara negatif, maka teknologi akan dipandang sebagai hal yang negatif. Begitu sebaliknya, jika dipergunakan secara positif, tentunya Iata tidak akan menghujat teknologinya bukan?***

0 komentar:

Posting Komentar

Archive

Postingan Populer